AKTUALITA.CO.ID – Merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru dan selalu ingin di rumah karena ada suasana keakraban, sesekali boleh dirasakan. Namun jika keseringan akan berbahaya bagi kesehatan.
Psikolog Patrice Le Goy di laman Huffington Post dikutip dari RMOL, Senin (7/8/2023) menyebutkan, kondisi seseorang terkenang rasa nyaman dan aman di rumah atau lingkungan yang sudah dikenal, mesti disikapi dengan baik.
Dia menjelaskan, sesekali merasa homesick adalah pertanda baik. Itu artinya seseorang memiliki rumah atau lingkungan yang stabil, penuh kasih sayang, dan pengasuhan. Namun, bisa jadi masalah jika perasaan itu bertahan terus-menerus.
“Jika dibiarkan, itu bisa menjadi lebih parah, menyebabkan perasaan cemas, terisolasi, dan depresi. Ketika semua yang Anda pikirkan adalah rumah dan orang-orang yang hilang serta lingkungan lama, itu dapat menghentikan Anda untuk menikmati dan hadir dalam keadaan saat ini,” ucap Le Goy.
Profesor di Chicago School of Professional Psychology itu menyampaikan pula bahwa homesick kronis dapat menyebabkan seseorang merasakan kekosongan. Akhirnya, ada keinginan untuk kembali kepada tempat yang membuat mereka merasa “aman”.
Ketika perasaan terasing dan kesepian ini terjadi berulang kali, perasaan itu juga berdampak pada kondisi fisik. Kondisi itu memengaruhi saraf punggung, bagian otak yang merespons isyarat bahaya dan akan mengaktifkan perlindungan diri.
Perasaan kesepian, isolasi, dan ketakutan berkelanjutan dapat mengakibatkan penutupan vagal punggung penuh, lalu sistem saraf kewalahan dan tubuh terjebak dalam mode diam. “Orang tersebut akan merasa mati rasa, apatis, tidak termotivasi, dan terputus dari sekitar,” kata psikolog klinis berlisensi di San Francisco, Avigail Lev.
Ahli saraf bersertifikat Daniel Rifkin menyampaikan, homesick bisa memicu gejala fisik parestesia. Sensasi abnormal itu dapat menyebabkan mati rasa atau kesemutan di jari kaki, jari tangan, dan sekitar bibir, terjadi akibat bernapas berlebihan atau hiperventilasi.
Pembuluh darah dan saraf terpapar terlalu sedikit karbon dioksida, memengaruhi pH darah, dan akhirnya tidak berfungsi dengan baik. Jika mengalami masalah itu, lakukan latihan pernapasan. Tarik napas selama empat hitungan untuk membantu lebih rileks.
Rifkin menyebutkan dampak fisik lain dari homesick yakni gelisah, detak jantung lebih cepat, sulit tidur, sakit kepala, pikiran berkabut, dan nyeri dada berkepanjangan. Asisten profesor klinis neurologi di State University of New York di Buffalo itu menyebut gejala-gejala yang ada mirip dengan kondisi fisik saat seseorang berduka atau menghadapi kehilangan.
Ada alasan neurologis mengapa hal ini terjadi di otak. Fenomena itu disebabkan oleh sinyal marabahaya abnormal yang berasal dari bagian terdalam otak, yang disebut amigdala. Dari sana, melalui sistem saraf simpatik, kelenjar adrenal dipicu untuk melepaskan adrenalin dalam jumlah yang melimpah.
“Biasanya, ada sistem saraf parasimpatis untuk mengimbangi sinyal abnormal itu, tetapi dalam keadaan kecemasan atau stres yang meningkat, sistem parasimpatis tak bekerja dengan tepat,” kata Rifkin.
Biasanya, saat stres berat, tubuh menunjukkan respons “melawan-atau-lari” untuk membantu keadaan kembali seimbang. Namun, dalam konteks rindu rumah, sistem saraf mengalami disregulasi, menyebabkan respons melawan-atau-lari terlalu sering diaktifkan. Itu merupakan hal buruk karena paparannya secara kronis dapat membahayakan tubuh.
Salah satu cara mengatasi ketidakseimbangan itu adalah melalui olahraga, yoga, meditasi, atau menggerakkan tubuh untuk melepaskan adrenalin ekstra. Bila perlu, Rifkin juga merekomendasikan mencari bantuan profesional untuk pengobatan.
Dibutuhkan upaya aktif lain untuk mengatasi homesick yaitu dengan membina koneksi baru. Bukan untuk menggantikan orang-orang dari rumah atau lingkungan lama, tetapi untuk memperluas hubungan positif. Cobalah bergabung dengan klub atau komunitas, atau berkenalan dengan orang baru.
** yev