AKTUALITA.CO.ID – Penghapusan mandatory spending (alokasi anggaran) di Undang-undang Kesehatan yang baru disahkan DPR RI, dinilai akan berdampak terhadap keberadaan tenaga kesehatan (nakes) honorer.
Nasib nakes honorer itu terancam karena taka da kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran dalam jumlah tertentu untuk belanja di bidang kesehatan.
Menurut Ketua Umum Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadhillah ada sekitar 80 ribu tenaga kesehatan berstatus honorer dan sukarelawan di daerah.
Ia mengatakan adanya kewajiban alokasi anggaran 5 persen dari APBN saja banyak tenaga kesehatan yang belum mendapatkan insentif layak.
“Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Saya rasa akan makin parah dan tidak akan mendapat kejelasan bagaimana mereka dibayar yang sementara ini mereka sudah mengabdi puluhan tahun, belasan tahun kepada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah,” ujar Harif dikutip dari CNN, Rabu (12/7/2023).
Ia mengatakan jumlah tenaga honorer lebih banyak daripada PNS di daerah. Karena itu, kata Harif, dihapusnya kewajiban alokasi anggaran bakal berdampak terhadap kualitas pelayanan masyarakat di daerah-daerah.
“Sementara kalau lihat di daerah daerah, jumlah tenaga honorer dan sukarelawan itu lebih banyak daripada PNS. Lalu bagaimana rakyat akan menerima pelayanan yang berkualitas,” katanya.
Selain itu, Harif juga menyinggung soal nasib insentif pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Menurutnya, para PPPK berpotensi diberhentikan karena tak ada lagi anggaran untuk membayar mereka.
“Pembiayaan PPPK yang dijanjikan oleh pemerintah, yang selama ini juga kami perjuangkan. Itu kan memerlukan pembiayaan daerah. Lalu kalau mandatory spending-nya juga dihilangkan, bagaimana mereka akan dibayar? Potensi mereka akan diberhentikan,” ucapnya.
Pada Selasa (11/7/2023), DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Sejak pembahasan, RUU itu menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan kewajiban alokasi anggaran dihapus karena besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia. Ia mencontohkan mandatory spending besar yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Kuba.
Menurutnya, rata-rata usia hidup warga di kedua negara itu tidak setinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, padahal ketiga negara itu tidak menetapkan mandatory spending yang besar.
“Jadi di seluruh dunia orang sudah melihat harus fokusnya bukan ke spending, fokusnya ke outcome. Fokusnya bukan ke input, fokusnya ke output,” kata Budi berkilah.
** yev