AKTUALITA.CO.ID – Dampak permainan video game masih menjadi kontroversi. Namun para ahli sepakat, bermain game berlebihan bisa berdampak buruk dan sebaliknya ada model game yang positif membantu pembelajaran.
Firma riset pasar global, NPD Group menunjukkan 9 dari 10 anak gemar bermain game. Itu berarti 64 juta anak dan beberapa dari mereka menggunakan keyboard atau ponsel pintar bahkan sebelum mereka dapat merangkai sebuah kalimat.
Masalahnya banyak peneliti percaya bahwa bermain game secara berlebihan sebelum usia 21 atau 22 tahun dapat berdampak pada otak.
Dilaman Brain and Life, dikutip dari RMOL, Selasa (29/8/2023), para peneliti di China misalnya, melakukan penelitian magnetic resonance imaging (MRI) pada otak 18 mahasiswa yang menghabiskan rata-rata 10 jam sehari online, terutama bermain gim seperti World of Warcraft.
Dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menghabiskan waktu kurang dari dua jam sehari untuk bermain secara daring, gamer memiliki lebih sedikit materi abu-abu (bagian berpikir di otak).
Sejak awal tahun 1990-an, para ilmuwan telah memperingatkan bahwa karena video game hanya menstimulasi bagian otak yang mengontrol penglihatan dan gerakan, bagian lain dari pikiran yang bertanggung jawab atas perilaku, emosi, dan pembelajaran bisa menjadi kurang berkembang.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature pada tahun 1998 menunjukkan bahwa bermain video game melepaskan neurotransmitter dopamin yang membuat Anda merasa nyaman. Jumlah dopamin yang dilepaskan saat bermain video game serupa dengan yang terlihat setelah suntikan obat stimulan amfetamin atau methylphenidate secara intravena.
Meskipun banyak bukti mengenai dampak kognitif, perilaku, dan neurokimia dari bermain game, konsep kecanduan game (online atau tidak) sulit untuk didefinisikan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa ini adalah gangguan kejiwaan yang berbeda, sementara yang lain percaya bahwa ini mungkin merupakan bagian dari gangguan kejiwaan lain.
Versi terbaru dari Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, DSM-V, menyatakan bahwa penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sebelum “Internet Gaming Disorder” dapat dimasukkan secara resmi.
Meski begitu, para ahli sepakat bahwa bermain game bisa membuat ketagihan. Otak manusia terprogram untuk mendambakan kepuasan instan, langkah cepat, dan ketidakpastian. Ketiganya bisa dipenuhi oleh video game.
“Bermain video game membanjiri pusat kesenangan di otak dengan dopamin,” kata David Greenfield, Ph.D., pendiri The Center for Internet and Technology Addiction dan asisten profesor klinis psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Connecticut. “Hal ini membuat para gamer merasa terburu-buru, tetapi hanya untuk sementara,” jelasnya.
Dengan banyaknya dopamin ekstra yang mengintai, otak mendapat pesan untuk memproduksi lebih sedikit neurotransmitter penting ini. Hasil akhirnya, pemain bisa mengalami berkurangnya pasokan dopamin.
“Jauhkan permainan seperti itu dari remaja yang kecanduan dan mereka sering kali menunjukkan masalah perilaku, gejala penarikan diri, bahkan agresi,” menurut Dr. Greenfield.
Namun tidak semua game itu buruk. Video game dapat membantu otak dalam beberapa cara, seperti meningkatkan persepsi visual, meningkatkan kemampuan untuk beralih antar tugas, dan pemrosesan informasi yang lebih baik.
“Di satu sisi, model video game ini brilian,” kata Judy Willis, MD, ahli saraf, pendidik, dan anggota American Academy of Neurology (AAN) yang berbasis di Santa Barbara, CA.
“Ini dapat memberikan informasi ke otak dengan cara yang memaksimalkan pembelajaran,” katanya.
** yev