AKTUALITA.CO.ID – Masyarakat mesti mengetahui gejala sesak napas biasa dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) agar bisa segera memeriksakan diri ke dokter dan mencegah penyakit tersebut.
Nah, guru besar pulmonologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) menjelaskan gejala PPOK berbeda dengan sesak napas biasa dan asma.
“Bedanya, sesak napas pada asma akan hilang sepenuhnya di luar waktu serangan asma, sementara sesak napas pada PPOK akan masih tetap ada,” kata dia dikutip dari RMOL, Kamis (16/11/2023).
PPOK ditandai adanya perlambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Perlambatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif serta berkaitan dengan respons inflamasi yang abnormal terhadap partikel atau gas iritan.
Selain sesak napas, mereka yang mengalami PPOK juga bergejala antara lain batuk-batuk selama dua pekan dan batuknya berdahak. Apabila mengalami perburukan gejala maka bertambahnya sesak napas kadang-kadang disertai mengi.
“Bertambahnya batuk disertai meningkatnya dahak,” jelas Tjandra.
Sementara itu gejala nonspesifik PPOK, yakni lesu, lemas, susah tidur, mudah lelah, dan depresi. Tjandra yang menjabat sebagai direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI itu lalu menuturkan bahwa sudah banyak data ilmiah yang menunjukkan bahwa polusi udara dapat memperburuk keadaan PPOK pada seseorang.
“Juga akan lebih sering eksaserbasi (perburukan atau kekambuhan gejala) dan lebih berat keluhan sesak napasnya,” tutur dia.
Selain itu, seorang pasien PPOK yang terkena infeksi SARS-CoV-2 juga akan dapat menjadi lebih berat Covid-19-nya. Ini karena PPOK adalah salah satu komorbid yang memperberat situasi Covid-19 pada seseorang.
Kemudian, bertepatan dengan Peringatan PPOK Sedunia, Tjandra mengingatkan masyarakat bahwa PPOK adalah penyebab kematian utama di dunia. PPOK termasuk masalah kesehatan paru-paru yang penting.
Peringatan PPOK Sedunia yang mengusung tema “Bretahing is Life – Act Earlier”, lanjut Tjandra menunjukkan peran penting bernapas dalam kehidupan, dan PPOK harus dicegah.
Menurut Tjandra, apabila tidak berhasil dicegah, maka PPOK harus didiagnosis segera. Setelah didiagnosis, pasien harus mendapat penanganan yang baik dari fasilitas pelayanan kesehatan agar kualitas hidupnya dapat tetap terjaga sesuai kemampuannya.
“Kalau pasien PPOK tidak ditemukan dan didiagnosis dini maka keterlambatan akan meningkatkan kemungkinan eksaserbasi, meningkatkan komorbiditas, dan bahkan lebih menghabiskan biaya penanganan pula,” tutur Tjandra.
Tjandra menjelaskan, kebiasaan merokok merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian dan perburukan PPOK. Ia menyerukan agar masyarakat memanfaatkan momentum Hari PPOK Sedunia pada 15 November untuk berhenti merokok.
Kemudian, selain merokok sebagai faktor penyebab utama PPOK, masih ada faktor risiko PPOK, yakni riwayat keluarga, riwayat infeksi paru-paru dan saluran napas ketika anak-anak, maupun kekurangan enzim alfa 1 antitripsin. Berbagai jenis polusi udara yang kronis juga dapat menjadi pemicunya.
** yev-rmol