AKTUALITA.CO.ID – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD merespons desakan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dia setuju merevisi UU tersebut karena telah menimbulkan polemik.
Seperti diketahui, kasus Kepala Basarnas Marsekal Madya (Marsdya) TNI Henri Alfiandi ditetapkan tersangka oleh KPK berujung permintaan maaf KPK karena dinilai salah prosedur. Bahkan ketentuan dalam UU tersebut dinilai membuat anggota TNI berpotensi lolos jerat hukum pidana.
Mahfud mengatakan, revisi UU tersebut saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. “Ya, nanti kita agendakan, kan sudah ada di Prolegnas, ya. Di Prolegnas jangka panjang. Nantilah kita bisa bicarakan kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” ujar Mahfud MD dikutip dari RMOL, Kamsi (3/8/2023).
Menurut Mahfud, adanya ketentuan UU itu membuat anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan militer, termasuk Kabasarnas Henri yang diduga melakukan tindak pidana suap.
“Kalau sekarang, yang paling tepat di militer, kalau sekarang. Karena UU Nomor 31 itu masih berlaku sebelum ada UU yang baru,” ujarnya.
Karena itu, Mahfud menyerahkan proses hukum tersebut kepada ketentuan hukum pidana militer. Dia meyakini, pihak militer akan memproses peradilan Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI (Purn) Henri Alfiandi secara objektif.
“Saya percaya. Nyatanya kita koordinasi sehari langsung tersangka,” ujarnya.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama koalisi masyarakat sipil menilai kebutuhan revisi UU Peradilan Militer menjadi hal penting jika perwira militer aktif masih akan terus dipertahankan untuk menduduki jabatan sipil.
Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan, penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi oleh KPK yang dievaluasi menunjukkan bahwa UU Peradilan Militer menjadi instrumen imunitas bagi perwira militer yang diduga terlibat dalam satu kasus tindak pidana korupsi.
“Kita ada kebutuhan untuk segera merevisi UU Peradilan Militer agar tidak kemudian dia terus menjadi akar dari seluruh imunitas yang terjadi, terutama yang terkait akuntabilitas militer ketika melakukan tindakan pelanggaran atau dugaan dugaan yang lain,” ujar Wahyudi.
Menurut dia, jika revisi ini tidak dilakukan maka pemerintah harus mengevaluasi secara menyeluruh penempatan perwira TNI aktif dalam sejumlah jabatan sipil di kementerian dan lembaga. Imunitas anggota TNI terhadap sanksi atas pelanggaran ketika memegang jabatan sipil perlu menjadi pertimbangan penting agar pemerintah tidak membuka ruang yang terlalu luas bagi aparat militer aktif.
“Tentu ini menjadi pertimbangan penting agar kita tidak membuka ruang yang terlalu luas dan terlalu lebar bagi aparat militer aktif untuk kemudian masuk ke dalam posisi jabatan-jabatan sipil,” ujar Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, seorang perwira aktif yang menduduki jabatan sipil seharusnya tunduk pada mekanisme akuntabilitas hukum sipil atau peradilan umum. Apalagi, UU Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK juga sudah menempatkan tindak pidana korupsi sebagai lex specialis.
“Tetapi, ternyata tidak bisa menjangkau perwira militer aktif, padahal dia menjalankan pekerjaan dan tugas itu dalam kapasitas sebagai pejabat sipil, semestinya itu tidak ada kaitan dengan kedinasan-kedinasan militernya dia,” ujar Wahyudi.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memastikan penanganan kasus Marsdya Henri terkait dugaan suap oleh pusat Polisi Militer (Puspom) TNI akan dilakukan secara objektif dan transparan, termasuk terhadap Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang juga anak buah Henri.
“Saya jamin objektif karena memang itu sudah kewenangannya (Puspom). Boleh dikontrol, sekarang ini di luar enggak bisa disembunyikan seperti itu,” kata Yudo.
Yudo juga memastikan proses peradilan akan dilakukan secara terbuka dan bisa diketahui publik.
“Terbuka. Kalau dipantau, silakan para media memantau itu. Kan selama ini seperti itu, yang sudah terjadi sebelumnya kan juga tidak ada peradilan militer yang tertutup. Seperti untuk tindak pidana korupsi, ya,” ujar Yudo.
Yudo berharap publik tidak memiliki kecurigaan terhadap proses hukum militer. Menurut dia, proses hukum militer memastikan penegakan hukum serta tunduk sesuai ketentuan undang-undang. “Kan sesuai dengan ketentuan UU kan semuanya. Makanya dibentuk Puspom itu memang untuk menyidik tindak pidana yang terjadi di militer,” ujarnya.
Sementara KPK dan Puspom TNI sepakat untuk melakukan penyidikan bersama terhadap kasus dugaan suap di Basarnas. Hal itu disepakati seusai Ketua KPK Firli Bahuri bertemu dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pertemuan kedua pimpinan itu dilakukan di rumah dinas Yudo Margono.
“Dalam pertemuan itu disepakati beberapa hal, di antaranya tentu nanti akan dilakukan penanganan perkara ini secara bersama-sama, gabungan, atau join investigation antara KPK dan Puspom TNI,” kata Ali.
Ali menjelaskan, penyidikan bersama dilakukan berdasarkan Pasal 42 UU KPK dan Pasal 89 KUHAP. Dia menyebut kedua instansi bakal menangani kasus tersebut sesuai dengan kewenangan masing-masing. “Sehingga perkara ini nantinya bisa diselesaikan dengan kewenangan masing-masing,” ujar Ali.
**